Minggu, 07 April 2013

sistem pemilihan umum di indonesia


Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Sistem pemilihan umum adalah  merupakan salah satu instrumen kelembagaan penting di dalam negara demokrasi.
Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga) syarat yakni : adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut  diadakanlah  sistem pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang di menangkan oleh partai atau calon.

Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok yakni :
1.      sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
didalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni :
  • firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenangnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
  • the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
  • the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
  • block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.

2.      sistem proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
  • list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
  • the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
            Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan Proporsional,  adanya usulan sistem pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia.Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil.

            Disamping itu sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik. Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak lepas dari realitas yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri sistem Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional daftar terbuka.
. Dan biasanya pelaksanaan pilkada memiliki hambatan-hambatan yang di jelaskan di bawah ini.


Hambatan-hambatan Melaksanakan Pilkada Langsung di Indonesia   
Berdasarkan pelaksanaan pilkada di beberapa daerah , terdapat hambatan-hambatan yang berkaitan dengan persiapan daerah dalam menyelenggarkan pilkada.
·         Pertama, berkaitan dengan beratnya syarat pengajuan calon. Dalam UU no 32 tahun 2004 disebutkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh suara 15%  kursi DPRD atau 15%  suara pileg yang berhak mengajukan calon. Persyaratan inilah yang terlalu memberatkan. Karena dengan ketentuan seperti ini, daerah-daerah dimana tidak ada satu pun atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan diri sebagai pasangan calon, maka akan ada hanya satu calon.
·         Kedua, sistem pilkada dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana bagi beberapa daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara besar-besaran.
·         Ketiga, berkaitan dengan prosedur perhitungan suara-suara dan penetapan calon yang terpilih. Untuk mengatur prosedur dan cara perhitungan secara jelas bagaimana kalau ada calon yang memiliki suara sama disemua tingkatan seharusnya ada SK KUPD agar mencari jalan keluar dari masalah ini.
·         Keempat, maraknya praktik-praktik money politics.Pemilihan kepala daerah langsung banyak diwarnai kegiatan money politics.Jauh sebelum pelaksanaan pilkada, para pasangan calon banyak mengeluarkan miliaran rupiah, bahkan puluhgan miliar, untuk hanya jadi calon.
·         Kelima, besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan gubernur, dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan bupati, menyebabkan proses kampanya sulit dikendalikan.
·         Keenam, cara pemilihan kepala daerah dengan memilih orang menempatkan figur sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah.Untuk memilih partai saja, kebanyakan pemulih masih mempertimbangkan figur masing-masing tokohnya.
·         Ketujuh, sebagai konsekuensi memilih orang, bentuk black propogandan akan banyak mewarnai kampanye kepala daerah ketimbang model kampanya yang berupaya membangun image positif masing-masing pasangan calon.
·         Kedelapan, ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon pendukungnya akibat sistem pemilihan dua tahap yang memungkinkan calon terbesar kedua keluar sebagai pemenang.Termasuk, tidak siapnya para pendukung menerima kekalahan jagoannya.
·         Kesembilan, sebagai konsekuensi memilih orang, akan banyak split voting pada pemilihan presiden. Maksudnya banyak pendukung partai memberikan dukungan secara menyilang.
Selain hambatan-hambatan tersebut pilkada langsung juga menimbulkan pro-kontra.Kelompok pro berpandangan bahwa pilkada langsung mengeliminasi distorsi-distorsi demokrai dalam praktik pilkada sistem perwakilan.Pilkada langsung dinilai sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik didaerah kerena dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang, memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberikan kesempatan rakyat memilih pimpinan daerah secara objektif.
Pemilu 2014 dan Upaya Meningkatkan Derajat Keterwakilan

            Sesuai dengan agenda politik nasional, tahun 2014 adalah tahun diselenggarakannya Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif), dan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, secara langsung. Kedua Pemilu tersebut merupakan amanat Konstitusi UUD 1945 sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam sebuah negara yang melaksanakan sistem demokrasi. Khusus UU Pemilu untuk memilih anggota legislatif, diatur dalam UU No. 12 tahun 2003 yang telah diubah dengan UU No. 10 tahun 2008.

            Diakui bahwa, secara prosedural, Indonesia telah melaksanakan demokrasi secara tertib, baik dan berkesinambungan,sesuai dengan nilai-nilai demokrasi universal. Salah satu prinsip atau nilai demokrasi adalah adanya Pemilu secara berkala untuk memilih para pemimpin,baik di lembaga perwakilan maupun di eksekutif.

            Kemudian muncul pertanyaan yang cukup mendasar, apakah indonesia selama ini, khsusnya sejak era reformasi, telah melaksanakan demokrasi sebagaimana yang kita kenal selama ini atau secara substantif? Pertanyaan tersebut harus dijawab, baik berkaitan dengan sistem pemilu yang diatur oleh peraturan perundang-undnagan maupun berkaitan dengan praktek, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan pemilu itu sendiri.

            Sistem yang dimaksud adalah bagaimana menciptakan sebuah sistem Pemilu yang, pertama,akuntabel dan memiliki derajat keterwakilan yang tinggi, sehingga memperoleh legitimasi kuat dari rakyat. Kedua,sistem Pemilu juga merupakan sebuah rekayasa politik  untuk menghasilkan lembaga perwakilan yang representatif atau menghasilkan pemimpin yang responsibel dan cakap. Ketiga, sistem yang kompatibel, diharapkan dapat menghasilkan sebuah proses demokrasi yang substantif.Selanjutnya ketika sebuah sistem pemilu dipilih, maka harus terimplementasikan dalam praktek.
            Sebagaimana diketahui,bahwa Indonesia memilih sistem proporsional. Dalam dua UU Pemilu terakhir yaitu UU No. 12 tahun 2003 dan UU No. 10 Tahun 2008, sepakat dipilih sistem proporsional terbuka.
            Maknanya adalah bahwa pemilih diberikan pilihan yang langsung kepada calon wakil mereka untuk duduk di DPR atau DPRD.Khusus terhadap sistem pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD yaitu proporsional terbuka, maka upaya meningkatkan derajat keterwakilan semakin menemukan bentuknya.Para wakil rakyat semakin memiliki hubungan yang erat dengan konstituennya, sehingga akuntabilitas para wakil semakin nyata.Akibat yang muncul, para rakyat yang diwakili dapat menuntut kepada para wakilnya untuk melakukan yang terbaik untuk rakyat. Jika hal itu tidak terpenuhi, para wakil akan memperoleh hukuman pada Pemilu berikutnya untuk tidak dipilih kembali.
           
            Upaya menciptakan sistem pemilu yang menghasilkan wakil rakyat yang akuntabel dan memiliki derajat keterwakilan yang tinggi adalah sebuah keniscayaan bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia sebagai sebuah negara demokratis.


Usul Inisiatif DPR tentang Perubahan UU No. 10 tahun 2008
            Salah satu upaya yang dilakukan dalam menatai kembali sekaligus mengevaluasi penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 lalu adalah dengan mengajukan RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Meskipun tidak secara eksplisit terfokus kepada materi yang berkaitan dengan perubahan dengan sistem Pemilu, namun Pansus akan memberikan ruang bagi pembahasan tentang Sistem Pemilu ini,khususnya yang terkait dengan bagaimana metode penghitungan perolehan kursi yang pada pemilu 2009 lalu menimbulkan banyak persoalan.
            Dalam Rapat Kerja Pansus DPR RI bersama Mendagri dan Menkumham tanggal 26 Oktober 2011 lalu, Pemerintah telah menyampaikan pandangan terhadap RUU ini dengan beberapa poin yang menjadi sorotan utama seperti:sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka, pemberlakuan parliamentary threshold, Daerah Pemilihan dan alokasi kursi setiap daerah pemilihan, serta metode penghitungan perolehan kursi.
           Hal tersebut sejalan dengan keterangan atau penjelasan DPR-RI terkait dengan RUU inisiatif ini dalam Rapat Kerja sebelumnya. Oleh karena itu,menjadi tanggungjawab bersama antara DPR dan Pemerintah untuk menghasilkan sebuah UU tentang Pemilu yang lebih demokratis dan mampu menghasilkan wakil rakyat yang lebih akuntabel dan memiliki derajat keterwakilan yang tinggi.
           Kewajiban konstitusional DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang sebagaimana diamanatkan UUD 1945 memberikan landasan bagi Pansus untuk melakukan tugas dan fungsi legislasi sebaik mungkin. Disadari bahwa pembahasan RUU tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD ini,akan berbenturan dengan kepentingan para anggota DPR sebagai individu dan Partai Politik yang menempatkan para kadernya menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu,mekanisme pembahasan senantiasa melibatkan publik,baik melalui forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan beberapa pihak seperti akademisi, penyelenggara Pemilu, dan lembaga akuntan publik, lembaga non-pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap pemilu, serta pihak lainnya. Selain itu,diberikan ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan melalui email atau media lainnya dalam sebuah forum public hearing. Upaya lainnya adalah dengan melakukan kunjungan ke beberapa daerah dan perguruan tinggi di daerah guna menjaring aspirasi sebanyak mungkin. Muaranya adalah semua masukan dan aspirasi akan menjadi bahan bagi Pansus serta pemerintah untuk membahas RUU ini guna menghasilkan Pemilu yang lebih demokratis,serta menghasilkan wakil rakyat yang memiliki derajat keterwakilan tinggi.
Salah satu aspek meningkatkan derajat keterwakilan wakil rakyat hasil Pemilu adalah melalui rekayasa sistem Pemilu yang dituangkan dalam sebuah regulasi. Sistem Pemilu akan memberikan penekanan kepada bagaimana cara memilih wakil rakyat yang disesuaikan dengan kondisi sosial politik serta budaya politik masyarakat di suatu negara. Sistem proporsional memiliki kelebihan utama yaitu meminimalkan suara rakyat yang tidak terkonversi menjadi kursi serta memberikan peluang bagi lebih besar partai politik kelas menengah untuk memperoleh kursi di DPR. Sebaliknya,sistem mayoritas-pluralitas yang dikenal dengan sistem distrik mempunyai kelebihan,karena wakil rakyat terpilih memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan konstituen.
Sistem Proporsional yang Dapat Meningkatkan Derajat Keterwakilan
           Sistem proporsional bisa menghasilkan wakil rakyat yang lebih tinggi derajat keterwakilannya.Salah satunya adalah dengan membuat Daerah Pemilihan (districting) yang lebih kecil, sehingga para wakil rakyat di daerah pemilihan tersebut bisa lebih mudah menjangkau konstituennya.Sebaliknya, rakyat di daerah pemilihan tersebut bisa lebih jelas kepada siapa mereka meminta dan menyalurkan aspirasinya baik untuk tingkat DPR maupun DPRD.
           Upaya lain adalah dengan cara tersedianya calon anggota legislatif terbaik melalui rekrutmen dan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik, sehingga rakyat sudah diberikan pilihan terbaik diantara yang baik. Hal tersebut akan memberikan dampak positif baik bagi partai politik, rakyat, serta lembaga perwakilan itu sendiri. Artinya proses pendidikan politik, sosialisasi politik,rekrutmen politik yang menjadi fungsi partai politik,menjadi bermakna serta dirasakan langsung oleh rakyat. Dampaknya, lembaga perwakilan akan bekerja lebih optimal karena diisi oleh anggota yang berkualitas.
           Sebagai kesimpulan, Pemilu 2014 harus menjadi tahap konsolidasi demokrasi melalui penyelenggaraan Pemilu yang lebih demokratis dan menggunakan sistem yang lebih mampu menghasilkan wakil rakyat yang memiliki derajat keterwakilan yang tinggi.Kehadiran UU adalah sebagai sebuah rekayasa Pemilu guna menghasilkan sistem demokrasi yang lebih baik bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Jika hal itu bisa terwujud, maka bangsa ini akan kembali menjadi bangsa yang besar dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia sebagai negara demokrasi.

Daftar Pustaka:

Nadir, Ahmad,2005 , Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi  .Averroes Press, Malang.
Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 2010, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Kencana .
Prihatmoko,Joko,2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar